Ikhtisar:Warga +62 Masih Mau Simpan?
1. Para Bos Mulai 'Buang' Dolar, Warga +62 Masih Mau Simpan?
Laju penguatan dolar Amerika Serikat (AS) masih belum terbendung. Indeksnya terus melesat naik hingga menyentuh level tertinggi dalam dua tahun terakhir. Namun yang menarik, garangnya dolar AS tidak membuat nilai tukar rupiah terpuruk.
Hingga perdagangan Senin (18/4/2022) rupiah hanya melemah 0,72% ke Rp 14.353/US$. Pada saat yang sama indeks dolar AS melesat sekitar 5% ke 100,78 yang merupakan level tertinggi sejak Maret 2020 lalu.
Bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) yang akan agresif dalam menaikkan suku bunga di tahun ini guna meredam inflasi membuat dolar AS perkasa.
Meski The Fed akan agresif dalam menormalisasi kebijakannya di tahun ini, tetapi para spekulan justru mengurangi kepemilikan dolar AS. Hal tersebut terlihat dari posisi spekulatif dolar AS berdasarkan data Commodity Futures Trading Commission (CFTC) yang dirilis Jumat pekan lalu.
Data tersebut menunjukkan pada pekan yang berakhir 5 April posisi beli bersih (net long) dolar AS mengalami penurunan nyaris US$ 2 miliar atau sekitar Rp 28,7 triliun (kurs Rp 14.350/US$) menjadi US$ 14,13 miliar. Penurunan tersebut merupakan yang pertama setelah naik selama 5 pekan.
Posisi spekulatif tersebut merupakan dolar AS melawan yen Jepang, euro, poundsterling Inggris, franc Swiss, dolar Kanada, serta dolar Australia.
Berkurangnya posisi spekulatif tersebut menjadi indikasi meski The Fed akan agresif menaikkan suku bunga, tetapi sebagian pelaku pasar melihat dolar AS tidak akan menguat terlalu jauh.
Jika net long dolar AS menurun, posisi spekulatif rupiah justru berbalik dari jual menjadi beli. Hal tersebut terlihat dari survei dua mingguan yang dilakukan Reuters.
Survei tersebut menggunakan skala -3 sampai 3, angka negatif berarti pelaku pasar mengambil posisi beli (long) mata uang Asia dan jual (short) dolar AS. Semakin mendekati -3 artinya posisi long yang diambil semakin besar.
Survei 2 Mingguan Reuters
DATE | USD/CNY | USD/KRW | USD/SGD | USD/IDR | USD/TWD | USD/INR | USD/MYR | USD/PHP | USD/THB |
April 7, 2022 | -0.41 | 0.99 | -0.46 | -0.05 | 0.81 | 0.63 | 0.32 | 0.53 | 0.31 |
March 24, 2022 | -0.16 | 0.98 | 0.19 | 0.04 | 1.16 | 0.99 | 0.12 | 1.4 | 0.46 |
March 9, 2022 | -0.85 | 1.22 | 0.8 | 0.49 | 0.97 | 1.1 | 0.05 | 0.89 | -0.08 |
February 24, 2022 | -0.99 | 0.39 | -0.77 | -0.01 | 0.33 | 0.07 | 0.2 | 0.19 | -1.07 |
February 10, 2022 | -0.99 | 0.85 | -0.98 | 0.46 | -0.18 | 0.32 | 0.1 | 0.74 | -0.31 |
January 27, 2022 | -1.29 | 0.89 | -0.67 | 0.12 | -0.17 | 0.18 | 0.25 | 0.82 | 0 |
January 13, 2022 | -0.73 | 0.97 | 0.22 | 0.2 | -0.15 | -0.29 | 0.28 | 0.71 | 0.61 |
December 16, 2021 | -1.07 | 0.53 | 0.67 | 0.54 | 0.09 | 1.07 | 0.84 | 0.2 | 0.36 |
December 2, 2021 | -0.88 | 1.06 | 0.58 | 0.15 | 0 | 0.47 | 0.28 | 0.26 | 0.71 |
November 18, 2021 | -0.87 | 0.48 | 0.07 | -0.72 | -0.15 | 0.08 | -0.04 | 0.24 | 0.12 |
Sementara angka positif berarti short mata uang Asia dan long dolar AS, dan semakin mendekati angka 3, semakin besar posisi short mata uang Asia. Survei terbaru yang dirilis hari ini Kamis (7/4/2022) menunjukkan angka untuk rupiah -0,04 membaik dari dua pekan lalu 0,04.
Sepanjang tahun ini, kebanyakan rupiah mengalami aksi jual (short), hanya dua kali survei saja yang nilainya minus alias spekulan mengambil posisi long, itu pun nilainya tidak terlalu besar.
Dengan spekulan kembali long terhadap rupiah dan net long dolar AS berkurang, mata uang Tanah Air tentunya memiliki peluang untuk menguat ke depannya.
2. Fundamental Dalam Negeri Kuat, Duit Asing Mengalir Deras
Fundamental dalam negeri yang terus membaik membuat rupiah tak gentar menghadapi the almighty dolar. Kenaikan harga komoditas memberikan keuntungan bagi Indonesia, neraca perdagangan Indonesia mencetak surplus 23 bulan beruntun.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan nilai impor Indonesia bulan lalu adalah US$ 21,97 miliar. Tumbuh 32,02% dibandingkan Februari 2022 (month-to-month/mtm) dan 30,85% dibandingkan Maret 2021 (year-on-year/yoy).
Sebelumnya, BPS mengungkapkan nilai ekspor Maret 2022 adalah US$ 26,5 miliar. Dengan demikian, neraca perdagangan Indonesia membukukan surplus US$ 4,53 miliar.
Surplus ini adalah yang ketiga terbesar sepanjang sejarah Indonesia merdeka. Hanya kalah dari Oktober 2021 (US$ 5,74 miliar) dan Agustus 2021 (US$ 4,75 miliar).
Indonesia sudah membukukan surplus neraca perdagangan sejak April 2020, atau selama 23 bulan terakhir. Ini baru kali pertama terjadi di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Rekor surplus perdagangan tanpa putus kali terakhir terjadi pada Agustus 2008-Juni 2010 yang juga berlangsung selama 23 bulan. Kala itu Indonesia masih dipimpin oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Kinerja positif neraca perdagangan tersebut membantu transaksi berjalan Indonesia membukukan surplus sebesar US$ 1,4 miliar atau 0,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB) di kuartal IV-2021. Sepanjang 2021, surplus transaksi berjalan tercatat sebesar US$ 3,3 miliar (0,3% dari PDB). Kali terakhir transaksi berjalan mencatat surplus secara tahunan yakni pada 2011 lalu.
Transaksi berjalan merupakan salah satu dari dua pos Neraca Pembayaran Indonesia (NPI). Surplus transaksi berjalan tersebut menjadi kunci stabilnya rupiah, bahkan bisa menguat sebab mencerminkan arus devisa yang bertahan lama di dalam negeri, tidak seperti pos yang lainnya yakni transaksi modal dan finansial yang gampang datang dan pergi.
Untuk saat ini, transaksi modal dan finansial masih mencatat kinerja apik, khususnya di pasar saham. Data pasar menunjukkan sepanjang pekan lalu investor asing melakukan beli bersih sekitar Rp 5,3 triliun, dan sepanjang tahun ini lebih dari Rp 41 triliun. Arus modal masuk tersebut mampu mengimbangi capital outflow di pasar obligasi sepanjang tahun ini hingga 14 April lalu sebesar Rp 41,3 triliun.
Untuk transaksi berjalan tahun ini, Bank Indonesia (BI) memprediksi akan kembali defisit, tetapi sekitar 1,1-1,9% dari PDB. Proyeksi tersebut lebih rendah dari rata-rata defisit pada periode 2012-2020 sebesar 2,3% dari PDB. Namun, tidak menutup kemungkinan surplus bisa dipertahankan jika neraca dagang terus menunjukkan kinerja positif.
3. Amerika Serikat Dibayangi Resesi
Notula rapat kebijakan moneter edisi Maret yang dirilis Kamis pekan lalu menunjukkan bagaimana agresifnya The Fed akan bertindak. Tidak hanya akan menaikkan suku bunga, neraca (balance sheet) The Fed juga akan dikurangi dengan nilai yang jumbo. Dengan mengurangi nilai neraca, artinya The Fed akan melepas obligasi pemerintah dan efek beragun aset yang dimiliki, sehingga bisa menyerap likuiditas.
The Fed pada bulan lalu menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin menjadi 0,25-0,5%, dan masih akan menaikkan suku bunga 6 kali lagi di tahun ini. Bahkan, pada bulan depan suku bunga diperkirakan naik 50 basis poin, sesuatu yang sangat jarang terjadi.
Selain itu, nilai neraca yang saat ini nyaris US$ 9 triliun akan dikurangi US$ 95 miliar per bulan, dengan rincian obligasi (US$ 60 miliar) dan efek beragun aset (US$ 35 miliar). Pengurangan nilai neraca tersebut nilainya dua kali lipat ketimbang yang dilakukan pada tahun 2017-2019.
Agresifnya The Fed dalam menormalisasi kebijakannya membuat dukungan moneter ke perekonomian menghilang. Alhasil, Amerika Serikat kini kembali dibayangi resesi.
Sinyal akan terjadinya resesi sudah terlihat dari inversi yang terjadi antara yield obligasi pemerintah AS tenor dua tahun dengan 10 tahun. Inversi terjadi saat yield obligasi tenor pendek lebih tinggi dari tenor jangka panjang.
Dalam situasi normal, yield obligasi jangka pendek akan lebih rendah dari jangka panjang. Tetapi jika investor melihat dalam jangka pendek perekonomian akan memburuk bahkan mengalami resesi, maka premi risiko yang diminta akan lebih tinggi.
Inversi yield obligasi pemerintah AS tenor dua tahun dan 10 tahun terjadi lagi selama beberapa hari sejak Kamis (31/3/2022) lalu. Sebelumnya inversi terjadi pada 2019 lalu yang diikuti dengan terjadinya resesi di tahun 2020, meski resesi itu lebih disebabkan oleh pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19).
Untuk saat ini, Reuters mengadakan survei terhadap lebih dari 100 ekonom pada periode 4- 8 April. Hasilnya perekonomian Negeri Stars and Stripes akan mengalami resesi dalam 24 bulan ke depan, dengan probabilitas sebesar 40%. Sementara survei yang dilakukan Wall Street Journal menunjukkan resesi akan terjadi dalam 12 bulan ke depan dengan probabilitas sebesar 28%.
Risiko terjadinya resesi tersebut membuat dolar AS melempem melawan rupiah sepanjang tahun ini. Bahkan tidak menutup kemungkinan rupiah berbalik menguat jika Bank Indonesia (BI) bersikap lebih hawkish dengan memberikan sinyal kenaikan suku bunga di semester II-2022.
Redford menjadi salah satu kata pencarian yang populer pada pencarian broker di platform WikiFX, yang terkait dengan 2 nama yaitu Redford Trading Club dan Redfordfx, berikut analisa pembuka dari kami
Menurut sumber terkemuka di pasar broker Retail FX dan CFD, MetaQuotes diam-diam memberi tahu kliennya bahwa situasi dengan Apple dapat diperbaiki dan sedang berupaya memulihkan MT4 dan MT5 di Apple App Store "secepatnya".
Silakan berpartisipasi pada program giveaway hari pertama "Aktifkan ForexPay Wallet, Dapatkan USDT!" dari WikiFX. Petunjuk untuk nama broker kali ini dapat Anda temukan dalam artikel ini.
Tiba – tiba gagal terus pas mau WD! Kayaknya broker Exness bagus deh? Pas diricek ternyata, salah! Terlanjur kecebur di platform Exness palsu, bukan yang asli .. ini cara mudah antisipasinya melalui platform WikiFX
FOREX.com
Sedang DiregulasiFXTM
Sedang DiregulasiRakuten Securities Australia
Sedang DiregulasiAVA Trade
Sedang DiregulasiIC Markets
Sedang DiregulasiDBG Markets
Sedang DiregulasiFOREX.com
Sedang DiregulasiFXTM
Sedang DiregulasiRakuten Securities Australia
Sedang DiregulasiAVA Trade
Sedang DiregulasiIC Markets
Sedang DiregulasiDBG Markets
Sedang DiregulasiFOREX.com
Sedang DiregulasiFXTM
Sedang DiregulasiRakuten Securities Australia
Sedang DiregulasiAVA Trade
Sedang DiregulasiIC Markets
Sedang DiregulasiDBG Markets
Sedang DiregulasiFOREX.com
Sedang DiregulasiFXTM
Sedang DiregulasiRakuten Securities Australia
Sedang DiregulasiAVA Trade
Sedang DiregulasiIC Markets
Sedang DiregulasiDBG Markets
Sedang Diregulasi